A. Konsep Belajar penemuan Menurut Jerome Bruner
Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi
perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui
tahap-tahap yang antara satu dan lainnya bertalian secara berurutan dan
fungsional. Dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner ada tiga
episode/tahap yang ditempuh oleh siswa, yaitu: tahap informasi (tahap
penerimaan materi), tahap transformasi (tahap pengubahan materi) dan tahap
evaluasi (tahap penilaian materi). Dan konsep ini merupakan konsep belajar yang
menentang konsep belajar aliran behavioristik.
Dari ketiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner tersebut adalah saling
berkaitan.
1.
Tahap informasi (tahap penerimaan
materi)
Dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi,
ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita
ketahui sebelumnya.
2.
Tahap transformasi (tahap pengubahan
materi)
Informasi itu harus dianalisis , diubah atau ditransformasi kebentuk yang lebih
abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas.
Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
3.
Tahap evaluasi (tahap penilaian
materi)
Kemudian dinilai sampai dimana pengetahuan yang
diproleh dan ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami
gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar ketiga tahapan
ini selalu terdapat. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi
diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap tahapan tidak selalu sama. Hal
ini antara lain juga tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid
belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan
sendiri. Konsep ini juga menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus
memperhatikan perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama
pengalaman belajar diberikan dikelas. Pengalaman yang diberikan dalam
pembelajaran harus bersifat penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat
memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumya.
Oleh karena itu, konsep pembelajaran ini secara sadar mengembangkan proses
belajar siswa yang mengarah kepada aspek jiwa dan aspek raga. Sesuai dengan
pengertian belajar itu sendiri yaitu serangkaian kegiatan jiwa raga untuk
memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam
interaksi dengan linkungannya yang menyangkut kognitif, efektif, dan
psikomotorik atau menurut Ki Hajar Dewantara adalah menyangkut Cipta, Rasa dan
Karsa.
a. Ranah Kognitif.
Ranah atau kawasan ini merujuk pada potensi subyek
belajar menyangkut kecerdasan atau intelektualitasnya, seperti pengetahuan yang
di kuasai maupun cara berpikir. Dalam domain atau ranah ini, dibagi dalam dua
bagian besar. Masing-masing adalah pengetahuan dan keterampilan intelektual.
Bagian
pengetahuan mencakup kemampuan atau penguasaan terhadap pengertian atau
definisi sesuatu, prinsip dasar, pola urutan dan sebagainya. Sedangkan bagian
ketrampilan intelektual diperinci lagi menjadi beberapa tingkatan, dari
pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi. Semakin meningkat kemampuan
seseorang memperlihatkan kecerdasanyayang semakin tinggi.
b. Ranah Efektif.
Domain ini mencakup kemampuan menyangkut aspek
perasaan dan emosi. Pada ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang
meliputi aspek penerimaan terhadap lingkungan, penghargaan dalam bentuk
ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan berbagai nilai untuk
menemukan pemecahan, serta karakteristik dari nilai-nilai yang menginternalisai
dalam diri.
c. Ranah Psikomotorik.
Ranah ini mencakup kemampaun yang menyangkut
keterampilan fisik dalam mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, seperti
keterampilan di bidang olahraga, penguasaan dalam menjalankan mesin dan
sebagainya.
Pada ranah ini juga terbagi dalam sejumlah aspek,
meliputi persepsi terhadap panca indra, kesiapan untuk melakukan gerakan fisik,
respon terpimpin atau gerakan yang dilakukan berdasarkan trial and error
ataupun berdasarkan pengetahuan yang telah di milikinya, mekanisme atau
kecakapan melakukan sesuatu, respon motorik yang tampak tau terlihat,
penyesuaian atau adaptasi, serta aspek penciptaan gerakan baru sebagai hasil
dari keterampilanya.
B.
Tokoh Serta Pemikiran Belajar Penemuan Menurut Jerome Bruner
Tokoh yang
mencetuskan konsep belajar penemuan (discovery) ini yaitu Seymour Jerome Bruner, lahir pada 1 oktober 1915 di New York City, Amerika Serikat.
Memperoleh pendidikan di BA, Duke University, 1937. PhD, Harvard, 1941
(psikologi). Profesor psikologi di Harvard (1952-1972). Profesor psikologi di
Oxford (1972-1980). Seymour Jerome Bruner adalah seseorang pengikut setia
teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif.
Ada empat tema dalam pendidikan yang
dikembangkan oleh bruner, tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur
pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita dapat menolong siswa
untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan,
dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan
untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan
ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang
untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi
dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai
pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan yang sahih atau
tidak. Tema keempat adalah tentang motivasi atau keinginan untuk belajar
dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif
(1915) yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya
pengembangan berfikir. Penelitiannya yang sering dilakukan Bruner meliputi
persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajari manusia, ia
menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Ia menandai
perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
v
Perkembangan intelektual ditandai
dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
v
Peningkatan pengetahuan tergantung
pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistik.
v
Perkembangan intelektual meliputi
perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui
kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan
dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
v
Interaksi secara systematis antara
pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan
kognitifnya.
v
Bahasa adalah kunci perkembangan
kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk
memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk
mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
v
Perkembangan kognitif ditandai
dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternative secara simultan,
memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam
berbagai situasi.
Jadi materi pembelajaran pada teori
Bruner meliputi struktur pengetahuan, kesiapan untuk belajar, nilai intuisi
dalam proses pendidikan, dan motivasi atau keinginan belajar.
C. Proses Belajar Menurut Jerome
Bruner
Dalam memandang proses belajar, Brunner menekankan adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang
disebut “(Free discovery learning)” (Budiningsih,2008). Ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Dengan
kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum
untuk memahami konsep kejujuran, misalnya siwa pertama-tama tidak menghafal
definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang
kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata
“kejujuran”.
Sementara ditinjau dari arti katanya “discover” berarti
menemukan dan “discovery”adalah penemuan. Robert B. menyatakan bahwa discovery
adalah proses mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip
(Ahmadi,2005). Jadi, seseorang siswa dikatakan melakukan discovery bila
anak terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati,
menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Selain itu Bruner menganggap, bahwa
belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru,
transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Dalam teori
belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik
dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan
tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap
(Muhbidin Syah,2006:10). Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu
tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal
yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi
pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Jadi dapat disimpulkan proses belajar
menurut Bruner adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang dijumpai dalam kehidupannya. Teori belajar Bruner dikenal dengan teori
Free Discovery learning.
D. Proses Mengajar Menurut Jerome
Bruner
Brunner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang
akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran efektif di kelas.
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif
dimaksudnya untuk memberikan hasil, karena tujuan utama
teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran itu
bersifat prespektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tujuan
utama teori pembelajaran itu sendiri adalah menetapkan metode pembelajaran yang
optimal,
misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk
belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana
cara-cara mengajarkan penjumlahan.
Dalam mengajar guru tidak menyajikan bahan pembelajaran
dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan
menemukan sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan masalah.
Secara garis besar, prosedurnya (Ahmadi,2005) sebagai berikut :
·
Stimulus (pemberian perangsang/stimuli) :
Kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berfikir
si belajar, menganjurkan dan mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas
belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
·
Problem Statement (mengidentifikasi masalah) :
Memberikan kesempatan kepada si belajar untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
masalah yang relevan dengan bahan belajar kemudian memilih dan merumuskan dalam
bentuk hipotesa (jawaban sementara dari masalah tersebut).
·
Data Collection (pengumpulan data) : Memberikan
kesempatan kepada para si belajar untuk mengumpulkan informasi yang relevan
sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesa tersebut.
·
Data Processing (pengolahan data) : Mengolah data
yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain.
Kemudian data tersebut ditafsirkan.
·
Verifikasi : Mengadakan pemeriksaan secara
cermat untuk membuktikan benar dan tidaknya hipotesis yang diterapkan dan
dihubungkan dengan hasil dan processing.
·
Generalisasi : Mengadakan penarikan kesimpulan
untuk dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang
sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Selain itu Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam
4 macam menurut fungsinya (Nasution,2000:15) sebagai berikut :
Ø Alat untuk
menyampaikan pengalaman “vicarious”, yaitu menyajikan bahan-bahan kepada
murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung
yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
Ø Alat model yang
dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala,
misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau
demonstrasi, juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu
prinsip atau struktur pokok.
Ø Alat
dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh,
film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi
pengertian tentang suatu ide atau gejala.
Ø Alat
automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprogram, yang
menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau
feedback tentang responds murid.
Menurut Brunner perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun mata pelajaran dan menyajikannya sesuai
dengan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasanya mengenai kurikulum spiral (a
spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi
pelajaran tingkat makro, menunjuk cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari
mengajarkan materi secara umum dan kemudian secara berkala kembali mengajarkan
materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. (Budiningsih,2008:42).
Pendekatan penataan materi dan umum ke
rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk
penyesuaian antara materi dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif orang
yang belajar. Sejalan
dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu
sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran
harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya
Menurut Brunner perkembangan kognitif
seseorang terjadi melaui tiga tahap pembelajaran yang ditentukan oleh caranya
melihat lingkungan, yaitu : Enaktif, Ikonik dan Simbolik (Budiningsih,2008:41).
a. Tahap
enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami
lingkungan sekitar, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap
Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar atau
visualisasi verbal. Maksudnya dalam memhami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap
Simbolik, seseorang telah mampu memilki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol bahasa, logika,
matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak
sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin
dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi
menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran
merupakan salah satu bukti masih diperlukannnya sistem enaktif dan ikonik dalam
proses belajar.
E. Contoh
Penerapan Teori Jerome Bruner
Penerapan Model Kognitif Jerome Bruner Dalam Pembelajaran
dapat di lihat pada tabel berikut ini:
Belajar
|
Karakteristik
Teori
|
Penerapan
Dalam Pembelajaran
|
Kognitif
Jerome Bruner
|
Model ini sangat membebaskan peserta didik untuk
belajar sendiri. Teori ini mengarahkan peserta didik untuk belajar secara
discovery learning.
|
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional
2. Memilih materi pelajaran
3. Menentukan topik-topik yang akan
dipeserta didiki
4. Mencari
contoh-contoh, tugas, ilustrasi dsbnya., yang dapat digunakan peserta didik
untuk bahan belajar
5. Mengatur
topik peserta didik dari konsep yang paling kongkrit ke yang abstrak,
dari yang sederhana ke kompleks
6. Mengevaluasi proses dan hasil
belajar
|
Contoh Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran
dalam sebagai berikut :
a. Sajikan contoh dan non contoh dari
konsep-konsep yang anda ajarkan.
Contoh :
Contoh :
·
Misalnya dalam mengajarkan mamalia contohnya : manusia, ikan
paus, kucing, atau lumba-lumba.
·
Sedangkan non contohnya adalah ayam, ikan, katak atau buaya
dan lain-lain.
b. Bantu si belajar untuk melihat
adanya hubungan antara konsep-konsep.
Contoh :
Beri
pertanyaan kepada si belajar seperti berikut ini “apakah ada sebutan lain dari
kata “rumah”? (tempat tinggal) “dimanfaatkan untuk apa rumah?” (untuk
istirahat, berkumpulnya keluarga dan lain-lain) adakah sebutan lainnya dari
kata rumah tersebut?
c. Beri satu pertanyaan dan biarkan
siswa untuk berusaha mencari jawabannya sendiri.
Contoh :
Contoh :
·
Bagaimana terjadinya embun?
·
Apakah ada hubungan antara Kabupaten dan Kotamadya?
d. Ajak dan beri semangat si belajar
untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Contoh :
Contoh :
·
Beri si belajar suatu peta Yunani Kuno dan tanyakan di mana
letak kota-kota utama Yunani.
Jangan
berkomentar terlebih dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan
yang dapat memandu si belajar untuk berfikir dan mencari jawaban yang
sebenarnya dan lain-lain.
Jadi dalam proses mengajar menurut
Bruner adanya pendekatan spiral atau lebih dikenal dengan a apiral
curriculum, yaitu mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan
materi secara umum kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama
dalam cakupan yang lebih rinci, dengan memperhatikan tahapan perkembangan
kognitif seseorang (enaktif, ikonik, dan simbolik).
F. Peran Guru Dalam Teori Jerome Bruner
Dalam belajar penemuan (Discovery Learning), peranan
guru dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Merencanakan pelajaran demikian rupa
sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk
diselidiki oleh para siswa.
2. Menyajikan materi pelajaran yang
diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah
seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang
aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang
berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh
siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan
demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbul masalah.
Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian
yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun
hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip
yang mendasari masalah itu.
3. Selain hal-hal yang tersebut di
atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas
terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara
simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian
terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan
menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa.
Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu
simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif,
ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
4. Bila siswa memecahkan masalah di
laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang
pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu
prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan
saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya
memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan
hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap
tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi
tutor itu.
5. Menilai hasil belajar merupakan
suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak
dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama
untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara
garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi
itu.
Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi
pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan
kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk
maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.
Jadi peran guru menurut Bruner, guru
biasa menjadi tutor, fasilitator, motivator dan evaluator. Dengan kata lain
dalam belajar penemuan, guru tidak begitu mengendalikan proses pembelajaran.
Guru hendaknya mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan masalah.
Penilaian hasil belajar meliputi tentang konsep dasar dan penerapannya pada situasi
yang baru.
G. Peran Teman dan Siswa
Peran teman dan siswa dianggap penting, sebagaimana kita
ketahui bahwa teori Bruner ini lebih menekankan agar siswa dalam proses
belajar-mengajarnya lebih berperan aktif, dan siswa diberikan kesempatan untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang dijumpai dalam kehidupannya. Oleh karena itu dalam belajar guru perlu
mengusahakan agar setiap siswa berpartisipasi aktif, minatnya perlu
ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu
(Slamet,2003).
Sementara peran teman dalam proses belajar “Discovery
Learning” cukup diperlukan, dimana mereka bisa saling bertukar informasi
dari apa yang mereka pelajari dan temukan sendiri, selain itu teori ini bisa
disajikan dalam bentuk diskusi kelas, demonstrasi, kegiatan laboratorium,
kertas kerja siswa, dan evaluasi-evaluasi (Ahmadi,2005).
Pada diskusi, guru harus merumuskan lebih dahulu yang akan
dicapai, mengenai konsep-konsep, prinsip-prinsip tau kemampuan apa saja yang
dapat dikembangkan siswa. Prinsip-prinsip itu diusahakan tersaji dalam bentuk
masalah. Siswa diharapkan dapat merumuskan, mengolahnya, kemudian
memecahkannya, sehingga mereka dapat menemukan sendiri konsep-konsep atau
prinsip-prinsip sesuai dengan yang telah direncanakan guru.
Jadi peran teman dan siswa dianggap
penting, terutama pada proses belajar mengajar, peran siswa harus lebih aktif
dalam menemukan dan mengembangkan sendiri materi yang diajarakan. Sementara
peran teman sebagai sosok yang dapat membantu memberikan tambahan informasi
selain guru, demi tercapainya tujuan pembelajaran.
H. Kelebihan dan Kelemahan Teori
Jerome Bruner
Kelebihan dari Teori Belajar
Penemuan (Free Dicovery Learning) adalah :
1. Belajar penemuan dapat digunakan
untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
2. Pengetahuan yang diperoleh si
belajar akan tertinggal lama dan mudah diingat.
3. Belajar penemuan sangat diperlukan
dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam belajar agar si belajar
dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima.
4. Transfer dapat ditingkatkan di mana
generalisasi telah ditemukan sendiri oleh si belajar daripada disajikan dalam
bentuk jadi.
5. Penggunaan belajar penemuan mungkin
mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
6. Meningkatkan penalaran si belajar
dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Kelemahan
dari Teori Belajar Penemuan (Free Discovery Learning) adalah
(Ahmadi,2005:79) :
1. Belajar Penemuan ini memerlukan
kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya kurang efektif.
2. Teori belajar seperti ini memakan
waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat
menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.
I. Kesimpulan
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari
pada teori belajar yang lain yaitu tentang ”Discovery Learning” yaitu
belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini
banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu
disebut ”kurikulum spiral (a Spiral Curriculum)”. Secara singkat,
kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi
setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya
sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu
materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah
mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Menurut Bruner cara menyajikan
pelajaran harus disesuaikan dengan derajat berfikir anak. Ada tiga tahap
berfikir anak yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu. dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi
Belajar Mengajar. CV. Pustaka Setia : Bandung.
Bell, Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan,
seri pustaka teknologi pendidikan PT. Rajawali : Jakarta
Budininsih, Asri. 2008. Belajar
dan Pembelajaran. PT. Rineka Cipta : Jakarta.
Nasution,
S. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Bumi
Akasara : Jakarta.
Slameto.
2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. PT. Rineka Cipta :
Jakarta
Soemanto,
Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. PT.Rineka Cipta : Jakarta.
http://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner [Akses Tanggal 08-08-2011]
http://www.geocities.ws/no_vyant/inisiasi_PJJ/inisiasi_Pkn_1_Sem2.pdf [Akses Tanggal 08-08 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar